Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta kepada para pelaku jasa titip (Jastip) khsusus barang-barang impor menaati peraturan yang ada. Di mana, DJBC sendiri mengatur maksimal kouta barang bawaan hanya senilai USD 500 atau setara dengan Rp 7 juta (kurs Rp 14.000)
Kepala Subdit Impor Direktorat Teknis Kepabeanan Djanurindo Wibowo mengatakan, para pelaku Jastip tetap harus bertanggungjawab atas baraang bawaannya.
Apabila nilai barang tersebut melebihi itu, maka tetap harus dikenakan bea masuk 10 persen dan pajak penghasilan nilai (PPN) atas kegiatan impor 10 persen.
"Jadi kami liat adil kok. Artinya sharing kargo, tetapi tetap memberikan perhatian yang tinggi terhadap kewajiban perpajakan. Jangan sampai bisnis (Jastip) itu berkembang karena penghindaran pajak," katanya saat ditemui di Kantornya, Jumat, 26 April 2019.
"Tidak bisa kemudian dia bilang 'waduh ini titipan temen'. 'Ini kedapatan kamu yang bawa kok' itu yang harus diperhatikan," tambahnya.
Sejauh ini pihak DJBC sendiri terus melakukan koordinasi dengan sejumlah bandara yang ada di Indonesia. Tak sampai di situ, sharing data juga turut dilakukan dengan sejumlah otoritas kepabeanan negara-negara lain. Hal ini dilakukan untuk memperketat terjadinya penghindaran pajak dari para pelaku Jastip.
"Kalau dia tidak bayar pajak kan ada petugas kita yang menganalisa (misalkan berapa nilai barang bawaanya) tetapi perilaku seperti ini sudah mulai ke baca yak," kata dia.
Meski demikian, hingga saat ini potensi kerugian atas pelaku Jastip yang bandel atau menghindari pajak belum terlihat signifikan. Sebab, tren pertumbuhan bisnis ini pun secara perkembangan juga dinilai masih baru.
"Kalau potensi kerugian secara ini kita belum, tetapi ini kan baru mulai," pungkasnya.
April 30, 2019 at 06:17PM from Berita Hari Ini Terbaru Terkini - Kabar Harian Indonesia | Liputan6.com http://bit.ly/2ZHAWlD
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment